Rabu, 11 November 2009

selamat datang di blog saya......!!!



Valentine
 
heart on handBanyak orang mengatakan bahwa antara cinta dan benci itu tipis batasnya seperti mata uang yang bersebelahan. Rasa cinta seringkali berbanding lurus dengan rasa benci.Rasa cinta yang sedikit akan memunculkan rasa benci yang sedikit pula jika disakiti. Demikian pula sebaliknya, rasa cinta yang besar akan memunculkan rasa benci yang besar jika disakiti.
Pernah seorang sahabat mengatakan,”Cinta kok dibahas!”. Tetapi apakah ada hal lain yang bisa mengalahkan kedahsyatan cinta yang tidak habis-habisnya dibahas dan di ekspresikan dalam berbagai bentuk ini? Maka berbicara tentang cinta sebenarnya bukan persoalan romantisme laki-laki dan perempuan tetapi lebih kepada hidup itu sendiri.
Bulan Pebruari selalu diidentikkan dengan bulan cinta. Ini memang serangan budaya yang besar yang tidak terbendung. Kisah St. Valentine telah sedemikian rupa menginspirasi meskipun sayang bahwa komodifikasi untuk  moment ini bisa membelokkan makna yang hakiki dari apa yang diinspirasikan oleh St. Valentine tersebut.

Sejarah Valentine

Hari Valentine pada awalnya merupakan budaya Roma yang kemudian diikuti oleh hampir seluruh dunia. Ada versi yang bermacam-macam tentang sejarah asal hari Valentine. Salah satu versi mencatat bahwa perayaan ini berawal dari sebuah festival bangsa Roma yang di sebut Lupercalis pada tanggal 15 Pebruari untuk memuja Lupercus dewa pelindung tanaman obat dan hasil bumi. Sehari sebelumnya adalah hari untuk menghormati Juno yaitu Dewi Para Perempuan dan Perkawinan. Kedua festival ini dipakai untuk memohonkan kesehatan yang baik dan kesuburan bagi mereka serta ternak-ternak mereka.
Ketika bangsa Roma menjadi Kristen, para rohaniwan kemudian menggunakan tanggal 14 Pebruari sebagai hari kasih sayang untuk memperingati 2 tokoh. Tokoh yang pertama yaitu Valentino yang dihukum mati kaisar Claudius II pada tanggal 14 Pebruari 270 karena Valentino menikahi seorang gadis. Padahal menurut Claudius, bala tentaranya akan makin besar dan kuat jika orang-orangnya tidak menikah. Tokoh yang kedua adalah seorang Bishop dari Terni. Saat itu Valentine bersama dengan Marius dan para martir menikahkan pasangan Romawi secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya setelah diketahui oleh penguasa Roma, Valentine dihukum dengan dipukuli tongkat sampai mati dan dipenggal kepalanya pada tanggal 14 Pebruari. Kedua martir ini kemudian diberi gelar Santo (orang suci) karena pengorbananya dan disebut sebagai Santo pelindung bagi pasangan yang sedang jatuh cinta. Untuk mengenang jasa dan pengorbanan Santo Valentine serta menghormati tradisi rakyat, para Pastor Romawi menentukan tanggal 14 Pebruari sebagai Hari Santo Valentine yang dirayakan dengan misa. (Rajawali, Thn XI no.02, 2003:h.16-17).

Hari Valentine di masa kini

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa pada awalnya, perayaan mengenang Santo Valentine ini dilakukan dalam Misa namun pada perkembangannya setelah perayaan ini diterima oleh dunia secara luas, nampaknya ada kemerosotan makna. Apalagi ditambah dengan warna bisnis di dalam perayaan ini bahkan perayaan ini dipakai secara salah oleh sebagian muda-mudi yang tidak benar-benar memahami secara mendalam makna Hari Valentine.  Sehingga banyak orang merayakannya dengan menggelar pesta-pesta di hotel-hotel, café-café, diskotek dan lain sebagainya untuk hura-hura dan berburu cinta.
Tetapi semoga perayaan Valentine yang dilakukan oleh orang-orang muda kita di GKJW jauh dari komodifikasi moment ini. Meskipun perlu tidaknya Valentine dirayakan bisa menjadi pembahasan tersendiri, tetapi saya tidak ingin “memerangi” perayaan Valentine yang dilakukan oleh teman-teman muda kita dalam peribadahan.

Merayakan Cinta

Dalam keyakinan kita bahwa Tuhan adalah kasih dan selalu bertindak berdasarkan kasih-Nya (Saya sengaja tidak membedakan kata kasih/sayang dan cinta untuk memudahkan kita). Kasih itu diekspresikan dalam berbagai bentuk, yang dicatat Alkitab diantaranya adalah tindakan penyembuhan orang sakit, membangkitkan orang mati, menemani orang yang disingkirkan, merangkul orang-orang yang dianggap berdosa agar kembali kepada yang baik, dan seterusnya. Puncak ekspresi kasih Tuhan itu adalah kematianNya untuk manusia dan alam semesta. Kemudian setelah kebangkitanNya, pengikutnya ditugaskan untuk menyebarkan, mengabarkan dan bertindak kasih bagi sesama dan alam semesta.
Hari Valentine yang dirayakan orang Kristen atau siapapun, tentunya harus dalam pandangan yang lebih luas. Tidak hanya berkenaan antara laki-laki dan perempuan yang sedang jatuh cinta tetapi kasih sayang untuk banyak orang. Kasih sayang untuk masyarakat yang tentunya tidak hanya dilakukan pada tanggal 14 Pebruari, tetapi bolehlah 14 Pebruari itu dipakai untuk menyegarkan kembali dan mengingatkan tugas dan tanggung jawab kepada sesama dan alam semesta itu. Lalu menjadi motivasi untuk melanjutkan terus tindakan kasih.
Hari Valentine memang dipakai untuk merayakan cinta/kasih sayang. Kasih sayang untuk banyak orang dan tidak terkecuali untuk keluarga kita, bapak dan ibu kita.Kasih itu perlu diekspresikan. Mulai dari ekpresi yang paling primitif semacam senyum dan tatapan mata atau ekspresi simbolis semacam berkirim bunga, kartu ucapan atau makanan hingga ekspresi paling mutakhir yaitu tulisan dan kata-kata yang diucapkan.
Suatu kali saya mendengarkan Golden Ways-nya Mario Teguh. Sayangnya saya lupa kapan dan temanya apa. Salah satu pemirsa menanyakan demikian: “Bagaimana cara mengungkapkan rasa cinta kepada ibu kita?” .Mario Teguh lalu menyuruh penanya tersebut untuk menirukan kata-katanya. Kalimat yang diucapkan adalah, “Saya Cinta Ibu!”.  Saya memaknai apa yang saya lihat dan Mario Teguh benar. Mengungkapkan rasa cinta itu sederhana saja. Tetapi pada kenyataannya, betapa sulit bagi sebagian kita mengatakan kepada ibu, “Saya Cinta Ibu!” Lalu mencium dan memeluknya.Padahal ibu kita sangat istimewa dalam hidup kita, bukan? Ibu kita pasti sangat terharu mendengar kata tersebut. Tetapi sayang, seringkali niatan untuk mengatakannya  ada tetapi kata-kata itu tercekat di tenggorokan, amat sulit dikeluarkan bahkan bisa sampai terlambat diucapkan.Seperti cerita yang dikisahkan seorang Bhikkuni di salah satu TV milik komunitas agama Budha di Malang. Beliau bercerita tentang seorang ibu yang banting tulang menghidupi tiga orang anaknya sampai mereka mandiri dan tidak lagi tinggal bersama ibu mereka. Dalam kesendirian ia sering berharap bisa mendengar anak-anaknya mengatakan kata cinta kepadanya.Namun tidak juga terdengar kata itu dari mulut anak-anaknya dari mulai mereka dihidupinya hingga telah mandiri. Akhirnya, suatu saat ia jatuh sakit parah tidak mampu lagi merespon apa-apa dan akan segera menemui ajal. Anak-anaknya yang selama ini dihidupi merasa begitu sedih, mereka datang menjenguk dan memeluk ibu mereka sambil berbisik di telinga ibu yang sekarat ini,”Kami Cinta Ibu!”. Tetapi sang ibu sudah tidak lagi bisa merespon ungkapan cinta itu, sudah tidak bisa lagi tersenyum atau menangis mendengarnya. Kata itu terlambat diucapkan. Dan mereka menyesalinya seumur hidup.
Demikianlah ungkapan cinta dalam kata-kata bagi orang tua kita memang amat sulit diungkapkan. Mungkin karena budaya kita yang lebih baik memendam rasa. Tapi coba anda tanyakan kepada orang yang sedang jatuh cinta, pasti lebih mudah dan lebih niat mengatakan cinta kepada orang yang diincar daripada kepada ibu mereka.
Amat menarik jika teman-teman muda merayakan Hari Valentine kali ini dengan mengajak bapak dan ibu dalam perayaannya. Ungkapkan kasih sayang kepada mereka dan sediakan acara khusus untuk orang tua kalian di perayaan itu. Pasti perayaan itu akan menjadi kenangan yang indah bagi teman-teman dan terlebih bagi bapak-ibu kalian yang akan diingat seumur hidup. Lalu lihatlah dampak yang akan terjadi kemudian dalam hubungan kalian dengan orang tua!
Ekspresi rasa cinta tentu tidak hanya dalam bentuk kata-kata.Ada ekspresi lain yang  juga bermakna cinta seperti yang dicontohkan oleh panutan iman kita. Apapun bentuknya, selama ekspresi itu memberi daya hidup maka cinta sedang dirayakan.
Ekspresi rasa cinta diperlukan setiap saat dan diperhadapkan terus pada tantangan-tantangan. Terlebih saat ini dimana kemarahan, keputusasaan, hasrat membunuh, kekecewaan, ketidakberdayaan dan ketakutan begitu kuatnya menggerogoti hidup manusia. Di sisi lain, di tengah pergumulan itu manusia dipanggil untuk mengekspresikan rasa cinta bagi sesama untuk memberi daya hidup. Tugas ini terlebih bagi orang-orang yang percaya bahwa Tuhan bahkan rela mati demi cintaNya kepada manusia dan alam semesta.

ABORSI MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA

Oleh:

Bhikkhu Bhadraguna


Peristiwa aborsi memang ada di sepanjang sejarah manusia. Sesungguhnya di mana ada orang yang ingin hamil maka di tempat yang sama juga ada kehamilan yang tidak diinginkan. Banyaknya kasus aborsi di kalangan remaja saat ini yang berakibat merenggut nyawa menunjukkan pendidikan seks bagi remaja sudah saatnya dipikirkan.

Mencermati kasus ini memang dibutuhkan pemikiran jernih. Sejauh ini masyarakat khususnya kalangan remaja intelektual tergesa-gesa dalam menyimpulkan kasus aborsi hanya dilakukan karena pergaulan bebasdan mengutuk perilaku sang pelaku tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ada di dalamnya. Kenyataannya ada kesenjangan antara respons masyarakat yang kebanyakan bernada tunggal tersebut dengan realita yang terjadi.

Dari fakta hasil penelitian selama ini jelas salah kalau kita menganggap bahwa kehamilan yang tidak dikehendaki selalu dihubungkan dengan akibat pergaulan bebas apalagi kalau berpikir bahwa itu hanya terjadi pada remaja. Padahal masih banyak sikap-sikap di masyarakat kita sendiriyang mendorong perempuan untuk terpaksa melakukan aborsi. Sikap yang ditanamkan sesungguhnya memang mempunyai latar belakang yang berbeda seperti :

a) Keluarga yang tidak siap karena memiliki ekonomi pas-pasan sehingga cenderung bersikap menolak kelahiran anak.

b) Masyarakat cenderung menyisihkan dan menyudutkan wanita yang hamil di luar nikah. Wanita selalu disalahkan, tidak ditolong atau dibesarkan jiwanya tetapi malah ditekan dan disudutkan sehingga dalam reaksinya wanita tersebut akan melalukan aborsi.

c) Ada aturan perusahaan yang tidak memperbolehkan karyawatinya hamil (meskipun punya suami) selama dalam kontrak dan kalau ketahuan hamil akan dihentikan dari pekerjaannya.

d) Pergaulan yang sangat bebas bagi remaja yang masih duduk di bangku sekolah, misal SMA, mengakibatkan kecelakaan dan membuahkan kehamilan. Karena merasa malu, dengan teman-temannya, takut kalau kesempatan belajarnya terhenti dan barangkali masa depannya pun menjadi buruk.
Ditambah dengan tekanan masyarakat yang menyisihkan sehingga akhirnya ia melakukan aborsi supaya tetap eksistensi di masyarakat dan dapat melanjutkan sekolah.

e) Dari segi medis diketahui umur reproduksi sehat antara 20-35 tahun. Bila seorang wanita hamil di luar batasan umur itu akan masuk dalam kriteria risiko tinggi. Batasan ini sering menakutkan, sehingga perempuanyang mengalaminya lebih menjurus menolak kehamilanya dan ujung-ujungnya akan melakukan aborsi.

f) Pandangan sebagian orang bahwa tanda-tanda kehidupan janin antara lain adanya detak jantung yakni umur sekitar tiga bulan. Maka hal ini akan memicu seorang wanita yang mengalami suatu masalah akan melakukan aborsi dengan alasan usia bayi belum sampai 3 bulan.

g) Praktik aborsi adalah fenomena yang timbul karena perubahan nilai di masyarakat. Sama halnya dengan praktik pelacuran, praktik aborsi tidak dapat diantisipasi dengan hanya bentuk pelarangan semata.

h) Selama ini indikasi medis yang dipakai sebagai dasar bolehnya aborsi hanya didasarkan pada kesehatan badan/keselamatan jiwa dan mengabaikan konsep definisi kesehatan secara keseluruhan (sehat fisik, psikis dan sehat sosial). Padahal sebagaimana tercantum dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Sementara itu dalam RUU Kesehatan tentang aborsi terdapat pada pasal 60 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan pemerintah berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggungjawab melalui perundang-undangan. Dalam ayat 2 dijelaskan pengguguran kandungan yang tidak bermutu antara lain di lakukan tenaga kerja tidak profesional dan dilakukan tanpa mengikuti standar profesi yang berlaku.

Dalam pasal itu terlihat bahwa pembatasan aborsi hanya pada upaya-upaya praktik aborsi oleh tenaga non medik seperti melalui dukun, obat-obat tradisional, sementara batasan-batasan mengenai syaratdan kondisi seseorang diperbolehkan melakukan aborsi sama sekali tidak dibahas. Dengan kata lain seseorang diperkenankan melakukan aborsi (dengan alasan kesehatan badan/keselamatan jiwa) asalkan dilakukan oleh dokteryang profesional dengan fasilitas yang memadai dan ditunjuk oleh pemerintah.

Perlindungan terhadap kesehatan perempuan berkaitan dengan hak-hak reproduksinya pada dasarnya telah diatur dalam UU No.7 tahun 1984. Selain hak untuk mendapatkan perlindungandan pelayanan kesehatan, konvensi ini jelas menjamin hak-hak reproduksi perempuan. Antara lain hak untuk memutuskan kapan dan akankah perempuan mempunyai anak. Dengan demikian konvensi ini memberi peluang bagi perempuan untuk malakukan aborsi sebagai pilihan bebas menyangkut hak-hak reproduksinya. Baik dalam keputusan-keputusan di pengadilan maupun dalam pembelaan menyangkut soal perempuan konvensi ini jarang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Sebab sistem hukumyang ada sama sekali tidak sensitif gender dan cenderung mengabaikan kepentingan perempuan.

Apakah melakukan aborsi berarti melakukan pembunuhan? Seringkali pertanyaan ini menjadi bahan perdebatan dari berbagai sudut pengetahuan.

Dalam masalah aborsi pandangan medis maupun agama yang dikembangkan di masyarakat adalah satu, aborsi identik dengan pembunuhan. Inilah yang kemudian diadopsi di dalam substansi hukum sebagaimana yang diatur lewat KUHP. Dalam pandangan medis abortus yang diperbolehkan adalah abortus berdasarkan indikasi medis (abortus artificialis therapicus) selebihnya aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis dikategorikan sebagai abortus kriminal (abortus provocatus criminalis).

Dalam pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu.

Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup :

a) Mata utuni hoti : masa subur seorang wanita
b) Mata pitaro hoti : terjadinya pertemuan sel telur dan sperma
c)Gandhabo paccuppatthito : adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta),yang memiliki energi karma

Dari penjelasan diatas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut :

a) Ada makhluk hidup (pano)
b) Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
c) Ada kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)
d) Melakukan pembunuhan ( upakkamo)
e) Makhluk itu mati karena tindakan pembunuhan ( tena maranam)

Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka pembunuhan ini akan berakibat burukyang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan tindak pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun mereka telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di kemudian hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

Dalam Majjhima Nikaya 135 Buddha bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia di mana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya tidaklah akan panjang".

Bagi mereka yang menyediakan jasa aborsi tidak resmi dan ketahuan tentu akan mendapat ganjaran menurut hukum negara, setelah melalui proses peradilan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Ini juga sebagai akibat dari perbuatan (karma) buruk yang dilakukan saat ini.

Hendaknya kasus aborsi yang sering terjadi menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi para remaja tidak menyalahartikan cinta sehingga tidak melakukan perbuatan salah yang melanggar sila. Bagi pasangan yang sudah berumah tangga mengatur kelahiran dengan program yang ada dan bagi pihak-pihak lain yang terkait tidak mencari penghidupan dengan cara yang salah sehingga melanggar hukum, norma dan ajaran agama.

Mudah-mudahan masyarakat luas dan umat Buddha pada khususnya dapat memahami hal ini sehingga tidak terjerumus pada perbuatan buruk yang merugikan diri sendiri dan makhluk lain.

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata - Semoga semua makhluk berbahagia




__________________


YO DHAMMAM DESESI ADIKALYANAM MAJJHEKALYANAM PARIYOSANAKALYANAM TI

Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya