Kamis, 02 April 2009

CINTA, PACARAN SEHAT DAN SEKS PRA NIKAH

DARI SUDUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA

A. Makna Cinta

Bila orang mengatakan "Aku cinta padamu," maksud yang terkandung dibalik per-nyataan itu dapat bermacam-macam. Bagaimana anda sendiri mendefinisikan kata cinta itu?

Para peneliti telah mengidentifikasikan enam cara yang biasa digunakan orang untuk mendefinisikan kata Cinta (Lasswell & Lobsenz, 1980; Lee, 1983). Bentuk-bentuk cinta ini merupakan bentuk-bentuk yang murni; biasanya orang memberikan definisi yang merupakan kombinasi lebih dari satu bentuk murni.

Cinta Romantik, cinta yang ditandai oleh pengalaman-pengalaman emosional. Biasanya merupakan cinta pada pandangan pertama. Yang penting dalam bentuk cinta ini adalah adanya daya tarik jasmaniah. Orang-orang yang terlibat dalam bentuk cinta ini sepakat bahwa, "pada sentuhan pertamanya saya tahu bahwa cinta adalah sesuatu kemungkinan yang nyata."

Cinta Memiliki, orang yang terlibat dalam bentuk cinta ini merasakan pengalaman emosional yang kuat, mudah cemburu, sangat terobsesi pada orang yang dicinta. Orang-orang yang mengalami bentuk cinta ini biasanya sangat tergantung pada orang yang dicintai, oleh karena itu dia takut tersisih. Keterlibatannya sangat mudah berubah dari perasaan sangat bahagia sampai rasa putus asa. Menurut mereka, "bila kekasih saya tidak memberikan perhatiannya pada saya, saya merasa sakit."

Cinta Kawan Baik merupakan bentuk cinta yang mengutamakan keakraban yang menyenangkan. Cinta ini biasanya tumbuh perlahan-lahan dan dimulai dari sebuah persahabatan, saling berbagi dan mengungkapkan diri secara bertahap. Ciri-ciri dari bentuk cinta ini adalah sifatnya yang bijaksana, hangat, dan sarat dengan rasa persaudaraan. Orang-orang yang terlibat dalam bentuk cinta ini mengatakan, "cinta yang terbaik adalah cinta yang tumbuh dari sebuah persahabatan."

Cinta Pragmatik, menurut Lee, ini adalah "cinta yang menuntut adanya pasangan yang serasi dan hubungan yang berjalan baik, kedua pihak merasa betah berada di dalamnya dan dapat saling mernuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar atau kebutuhan-kebutuhan praktis mereka" (1973, hal.124). Orang yang terlibat dalam cinta pragmatik sangat logis dan banyak pertimbangan dalam menentukan pasangan yang sesuai dengan dirinya, dan lebih senang mencari kepuasan daripada kegembiraan. Menurut mereka, "anda perlu merencanakan kehidupan Anda secara seksama sebelum memilih seorang kekasih"

Cinta Altruistik, ciri utama dari cinta ini adalah adanya perhatian, keinginan untuk selalu memberikan sesuatu, dan selalu siap memaafkan kesalahan pasangannya. Cinta diartikan sebagai suatu tugas yang harus dilakukan tanpa pamrih. Bentuk cinta ini diungkapkan melalui pengorbanan diri, kesabaran, dan rasa percaya terhadap orang yang dicintai. Menurut mereka, "saya mencoba menggunakan kekuatan saya sendiri untuk membantu kekasih saya melewati masa-masa sulitnya, bahkan pada saat dia bertindak bodoh."

Cinta Main-main, orang dapat memperlakukan cinta seperti memainkan sesuatu: untuk menikmati "permainan cinta" dan memenangkannya. Dalam bentuk cinta ini, yang paling penting adalah strategi, dan keterikatan biasanya dihindari. Orang yang terlibat dalam bentuk cinta ini biasanya memiliki lebih dari satu hubungan cinta pada satu saat. Tidak ada hubungan yang mampu bertahan lama, biasanya akan berakhir bila pasangannya mulai bosan atau menjadi terlalu serius. Menurut mereka "bagian yang menyenangkan dari cinta adalah menguji kemampuan seseorang untuk menjaga agar hubungan itu berjalan terus dan orang sekaligus mendapatkan apa yang diinginkannya."

Swensen (1972) bertanya pada sekelompok orang dari berbagai kelompok usia tentang perilaku apa saja yang mereka anggap mencerminkan cinta terhadap seseorang. Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian dikelompokkan dalam tujuh kategori atau bentuk perilaku cinta:

  1. Pernyataan verbal yang sarat dengan afeksi, misalnya dengan mengatakan ”Aku cinta padamu”
  2. Pengungkapan diri,
  3. Tanda-tanda cinta yang bukan dalam bentuk materi, misalnya menunjukkan rasa tertarik pada kegiatan-kegiatan pasangannya, menghargai pendapat-pendapatnya, atau memberikan dukungan semangat.
  4. Berkomunikasi secara non verbal seperti mengungkapkan rasa bahagia dan santai bila sedang berada bersama-sama.
  5. Tanda-tanda cinta yang berbentuk materi, seperti memberikan hadiah atau bantuan untuk mengerjakan tugas.
  6. Ekspresi fisik sebagai tanda cinta, seperti memeluk atau mencium.
  7. Menunjukkan keinginan untuk menenggang rasa terhadap pasangannya dan mau berkorban agar hubungan tetap berlanjut.

Cinta adalah sesuatu hal yang khas manusiawi, ada dalam diri setia manusia meski tidak semua manusia menyadari arti dan nilai-nilainya sehingga kadang manusia menyepelekannya atau menganggapnya sebagai kegombalan belaka (Rudi G., 2000: 112). Erich Fromm menjelaskan cinta (1962) dalam bukunya The Art of Love adalah suatu kekuatan aktif dalam diri manusia; suatu kekuatan yang mendobrak tembok pemisah antara seseorang dengan sesamanya dan menyatukannya; cinta adalah kekuatan yang sanggup mengatasi rasa keterasingan dan keterpisahan, tapi dengan tetrap membebaskan seseorang untuk tetap menjadi dirinya, untuk mempertahankan keutuhannya.

Ven. Visuddhacara dalam karyanya Loving and Dying diterbitkan oleh Malaysian Buddhist Meditation Centre yang didistribusikan secara cuma-cuma menjelaskan cinta adalah pengertian. Cinta tidak mengadili atau menyalahkan, cinta mendengarkan dan mengerti, cinta memperhatikan dan bersimpati, cinta menerima dan memaafkan, cinta tidak mengenal halangan-halangan, tidak membedakan dan berkata saya adalah seorang Theravada dan engkau adalah Mahayana atau Tibetan. Tidak mengatakan saya seorang Buddhis dan engkau adalah Kristen, Islam, atau Hindu. Atau saya seorang Cina, kamu orang orang Melayu, orang India, orang Eropa, atau juga saya orang Timur, dan kamu orang Barat, atau saya orang Malaysia, kamu orang Jepang, orang Amerika, orang Burma, orang Thailand dan seterusnya.

Cinta melampaui semua halangan-halangan, cinta melihat dan merasakan bahwa kita sama satu ras, yaitu ras manusia. Air mata kita sama-sama asin, dan darah kita semua merah. Saat ada cinta dan belas kasih seperti ini, kita dapat bersimpati dengan semua makhluk hidup lain. Kita dapat melihat bahwa kita semua berlayar dengan perahu yang sama dilautan kehidupan yang penuh badai. Kita menderita dalam samsara, dalam lingkaran kelahiran kematian yang tiada ujung pangkal. Kita adalah saudara.

Saat kita dapat melihat dan merasakan ini, maka perbedaan agama, ideologi, dan lain-lain akan hilang. Kita akan dapat memiliki hati yang penuh cinta suci, kita akan dapat merasakan penderitaan orang lain. Belas kasih akan memenuhi nafas kita dan dalam apapun yang kita lakukan cinta kasih dan belas kasih seperti ini akan muncul, menenteramkan, damai.

Cinta berkaitan dengan belas kasih. Jika kita mempunyai hati yang penuh cinta, belas kasib akan lebih mudah timbul. Saat kita melihat orang menderita, kita merasa ingin menghibur orang itu. Belas kasih mempunyai kualitas untuk mengurangi penderitaan. Ini dapat dirasakan secara khusus ketika bertindak spontan untuk mengurangi penderitaan orang lain.

Cinta kasih adalah bahasa hati, pada saat kita termotivasi oleh cinta dan belas kasih, kita menolong tanpa mendiskriminasikan ras, kepercayaan, kebangsaan orang lain. Dalam cahaya belas kasih, identifikasi ras, kepercayaan dan sebagainya menjadi tidak penting; tidak terlihat lebih jauh, cinta kasih semacam itu tidak terbatas pada manusia, tetapi dikembangkan lebih jauh pada makhluk hidup lain termasuk binatang, dan serangga.

Bahasa Cinta

Mahayana, Theravada, Vajrayana

Agama Kristen , Buddha, Islam, Hindu

Bangsa Melayu, Cina, India Bangsa Eropa

Malaysia, Jepang, Amerika, Afrika dan lain sebagainya

Sekarang apakah yang menjadi masalah?

Bahasa cinta adalah bahasa hati

ketika hati berbicara

ribuan bunga-bunga mekar

dan cinta mengalir bagaikan matahari pagi melalui jendela

Kata-kata tidak dibutuhkan

pandangan, sentuhan akan memenuhi

untuk mengatakan apa yang tidak terkatakan oleh ribuan kata-kata

Dan cinta bersinar

Seperti bintang memancar

Di malam hari

Perbedaan-perbedaan hancur

Prasangka-prasangka hilang

Keunggulan menggapai kembali

Cinta dan belas kasih

Menaklukkan semua rasa takut dan curiga

menyembuhkan luka

dimana-mana.

Saya rasa jika kita berusaha untuk menumbuhkan cinta dan belas kasih seperti ini, maka jika saatnya tiba bagi kita untuk meninggal, kita akan pergi dengan damai. Bahkan jika kita tidak berhasil 100 % dalam mencintai dengan sempurna, kita tetap dapat bahagia dan puas jika kita telah berusaha. Dan tentunya kita akan berhasil mencapai tingkat tertentu.

Cinta dalam kontek Buddhis disebut metta yang berarti ‘sesuatu yang dapat melembutkan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati’. Metta dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagiaan semua makhluk tanpa kecuali. Cinta kasih dikatakan sebagai pikiran atau niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan temannya.

B. Pacaran Sehat

Pacaran berasal dari kata pacar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1991: 711) pacar berarti teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Badudu & Zain (1996: 971) pacar diartikan sebagai tunangan yang belum diresmikan. Pacaran identik dengan berpacaran yang berarti bercintaan, berkasih-kasihan. Hal mana tidak terlepas dari batasan-batasan pengertian cinta tersebut di atas. Pacaran sehat berarti menekankan pada hubungan lawan jenis berdasarkan cinta kasih secara sehat. Hal mana diwujudkan dalam bentuk berkencan. Tujuan dan alasan remaja berkencan diantaranya adalah untuk hiburan, sosialisasi, status, masa pacaran dan pemilihan teman hidup.

Banyak kawula muda lebih suka mempunyai pasangan tetap daripada berganti-ganti, karena hal ini memberi rasa aman, mengetahui selalu ada teman untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial. Larson dkk (dalam Hurlock, 1999: 228) setelah mempelajari remaja laki-laki dan perempuan menyimpulkan bahwa remaja yang sedang siap untuk punya pasangan tetap tidak hanya mempunyai perasaan tidak aman tetapi mempunyai cita-cita pendidikan-pekerjaan lebih rendah dibanding dengan remaja yang belum mempunyai pasangan tetap pada usia dini.

Salah satu tugas perkembangan remaja adalah mencapai hubungan baru yang matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. Hakekat tugas ini adalah mempelajari perempuan sebagai wanita dan laki-laki sebagai pria, menjadi orang dewasa belajar memimpin tanpa menekan. Secara biologis daya tarik sek menjadi suatu kebutuhan yang dominan dalam kehidupan remaja.

Pada kontek hubungan remaja pada dasarnya semua remaja menghendaki semua kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi secara wajar baik kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis maupun kebutuhan sosiologis. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut secara memadai akan mendatangkan keseimbangan dan keutuhan integritas pribadi, akan merasa gembira, harmoni, dan produktif. Dengan kata lain remaja yang segala kebutuhannya terpenuhi secara memadai akan memperoleh suatu kepuasan hidup (statisfaction).

Sebaliknya, jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka remaja akan mengalami kekecewaan (ketidak puasan), akan frustasi yang pada akhirnya akan mengganggu pada pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan demikian, setiap tingkah laku remaja khususnya dan manusia pada umumnya selalu berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapainya. Apa yang hendak dicapai ialah dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam dirinya. Dengan begitu antara motif, kebutuhan, dan tingkah laku berhubungan erat satu sama lainnya. Jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi maka akan timbul kesulitan-kesulitan yang menyebabkan menjadi kecewa, frustasi, yang reaksi eksplosifnya dalam bentuk marah, menyerang orang lain, minum-minuman keras, narkotik, dan tingkah laku-tingkah laku negatif lainnya (Sugeng H. dkk.l995).

Karakteristik teman atau kawan dalam kontek Buddhis adalah dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus yaitu sahabat yang suka menolong, sahabat diwaktu senang dan susah, sahabat yang suka memberikan nasehat yang baik dan sahabat yang selalu memperhatikan keadaanmu (Sigalovasa Sutta, Digha Nikaya III).

Sahabat yang suka menolong adalah ia akan menjaga dirimu ketika kamu sedang lengah, menjaga milikmu ketika kemu sedang tidak waspada, melindungi ketika sedang ketakutan, dan apabila kamu ingin melakukan sesuatu, ia akan membantu labih dari yang kamu butuhkan.

Seorang sahabat di waktu senang dan diwaktu susah menunjukan bahwa ia akan mempercayakan rahasianya kepadamu, juga menjaga rahasiamu. Apabila dalam keadaan kesulitan, ia tidak akan meninggalkanmu sendirian, bahkan rela mengorbankan dirinya untuk membelamu.

Sahabat yang suka memberikan nasehat yang baik ia akan mencegah kamu berbuat kesalahan, menganjurkan kamu berbuat baik, memberitahukan apa yang belum pernah kamu dengar, dan menunjukkan jalan ke surga.

Sahabat yang selalu memperhatikan keadaanmu, ia tidak bergembira melihat kamu mendapat bencana, turut gembira melihat keberhasilanmu, mencegah orang lain berbicara buruk tentang dirimu, menyetujui setiap orang yang memuji dirimu.

Memilih pacar atau teman sebagai seorang sahabat yang baik dan pada akhirnya akan dijadikan sebagai taman pendamping hidup hendaknya memperhatikan karakteristik seorang sahabat seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta. Dan orang bijaksana menganggap empat jenis manusia (sahabat) tersebut sebagai sahabat sejati dan wajib menjaganya dengan baik seperti seorang ibu menjaga anak kandungnya sendiri.

C. Perilaku Seks

Sikap baru terhadap perilaku sesksual pada remaja menunjukkan perubahan yang menonjol. Seperti di kemukakan oleh Hurlock (1999: 229) hubungan seks sebelum nikah dianggap “benar” apabila orang-orang terlibat saling mencintai dan saling terikat. Cinta dan seks memang dua hal yang berbeda, tapi keduanya mempunyai korelasi yang kuat.

Sebagai landasan dan pijakan perilaku seks generasi muda Buddhis berhubungan erat dengan sila. Sila mengisyaratkan suatu disiplin pribadi yang dikembangkan dari dalam, dan bukannya muncul dari rasa takut terhadap hukuman. la merupakan perbuatan yang berdasarkan motif-motif yang murni dan cinta kasih, kemerdekaan, dan kebijaksanaan, yang diperkuat dengan pengertian terhadap kepalsuan hakekat diri.

Perilaku tersebut ditafsirkan dalam empat penafsiran yaitu (1) menunjukkan sikap batin atau kehendak (cetana), (2) menunjukkan penginderaan (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika), (3) menunjuk pada pengendalian diri (samvara), dan (4) menunjukkan tiada pelanggaran disiplin (atuaran) yang telah ditetapkan (avitikama).

Mencerminkan perilaku generasi muda Buddhis apabila perilaku tersebut menimbulkan harmoni dalam hati dan pikiran (samadhana), dan dapat mempertahankan kebaikan yang mendukung pencapaian batin luhur. Gambaran yang khas perilaku tersebut diwujutkan dalam bentuk ciri (lakkhana), fungsi (rasa), wujud (paccupatthana) dan sebab terdekat yang menimbulkannya (padatthana).

Ciri perilaku yang dimaksudkan adalah ketertiban dan ketenangan yang dipelihara dan dipertahankan dengan mengendalikan perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran. Funsinya menghancurkan kelakuan yang salah dan menjga agar tidak tetap bersalah. Wujud dari perilaku yang dimaksudkan adalah kesucian, dalam bentuk perbuatan jasmaniah (kaya-soceyya), ucapan (vaci-soceyya) dan pikiran (mano-soceyya). Sebab yang terdekat yang menimbulkan perilaku yang diharapkan adalah adanya malu berbuat salah (hiri) dan takut akibat perbuatan salah (ottappa).

Tugas perkembangan remaja berhubungan dengan seks yang harus dikuasai adalah pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Standar perilaku seks generasi muda (remaja) Buddhis telah dijelaskan oleh sang Buddha dalam pancasila Buddhis. Beberapa batasan yang ditekankan oleh Sang Buddha berhubungan erat dengan masalah perilaku seks adalah sila ke tiga dari pancasila Buddhis yaitu kamesumicchacara.

Kamesumicchacara terdiri dari kosakata kama, miccha, dan cara. Kata miccha berarti 'salah' atau 'menyimpang', ‘cara’ berarti 'pelaksanaan' atau 'perilaku', ‘kamesu’ merupakan bentuk jamak dari kata kama pada kasus ketujuh menurut tata bahasa Pali, berarti 'nafsu atau kesenangan indriawi'. Ada lima kesenangan indria, yaitu: kesenangan indria mata, kesenangan indria telinga, kesenangan indria hidung, kesenangan indria lidah, kesenangan indria kulit (permukaan jasmaniah yang merasakan sentuhan).

Jadi kamesumicchacara berarti 'pemuasan nafsu indriawi yang menyimpang (dari yang dibenarkan)' atau dengan kata lain 'memuaskan nafsu indriawi secara salah'. Kesenangan indria kulit yang dirasakan melalui sentuhan dalam konteks kamesumiccha-cara diartikan sebagai hubungan kelamin. Oleh karena pemuasan indria kulit melalui sentuhan secara salah membawa akibat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain dan mengganggu ketentraman masyarakat, maka pengertian kamesumicchacara ditekankan dan diartikan dengan 'melakukan hubungan kelamin yang salah' atau hubungan seksual yang salah.

Kamesumicchacara telah terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari:

a. orang yang tidak patut untuk disetubuhi (agamaniya-vatthu).

b. mmpunyai niat untuk menyetubuhi orang tersebut (tasmim sevacittam).

c. melakukan usaha untuk menyetubuhinya (sevanappayogo).

d. berhasil menyetubuhi (maggena muggapatipatti adhivasenam).

Mengenai orang yang tidak patut disetubuhi (agamaniya-vatthu) adalah wanita-wanita sebagai berikut:

1. di bawah perlindungan ibunya (maturakkhita).

2. di bawah perlindungan ayahnya (piturakkhita)

3. dalam perlindungan ayah dan ibunya (matupiturakkhita)

4. dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhagini rakkhita).

5. dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (bhaturakkhita).

6. dalam perlindungan sanak-keluarganya (natirakkhita).

7. dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhitu).

8. dalam perlindungan pelaksana Dharma (dhammarakkhita).

9. yang sudah dipinang oleh raja atau orang-orang yang berkuasa (saparidanda).

10. yang sudah bertunangan (sarakkhita).

11. yang sudah dibeli oleh seorang lelaki, atau telah digadaikan oleh orang tuanya (dhanakkheta).

12. yang tinggal dengan lelaki yang dicintainya (chandavasini).

13. yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan harta benda (bhogavasini).

14. yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan sandang (patavasini).

15. resmi menjadi istri seorang lelaki dalam suatu upacara adat istiadat (odapattagini).

16. yang menjadi istri seorang lelaki yang membebaskannya dari perbudakan (asbhatasumbatta).

17. tawanan yang kemudian dikawini oleh seorang laki-laki (dhajahata).

18. pekerja yang dikawini oleh majikannya (kammakaribhariya).

19. budak yang dikawini oleh majikannya (dasibhariya).

20. yang menjadi istri seorang lelaki dalam jangka waktu tertentu (muhuttika).

Dari rincian di atas, kelihatan bahwa wanita dari 1 sampai dengan 8 yang belum mempunyai suami sesungguhnya mempunyai hak yang mutlak atas dirinya sendiri. Ibu dan sebagainya yang menjadi pelindung atau perawat itu tidaklah mempunyai hak atas dirinya, dalam arti bukan pemilik bagi tubuh dan batin serta kehidupannya. Apabila delapan jenis perempuan ini mencintai laki-laki bujangan dan rela menyerahkan dirinya, mereka tidaklah dapat dianggap melakukan perzinahan. Kendatipun demikian, perbuatan yang nekat semacam ini tentu merupakan suatu hal yang tidak bersesuaian dengan dhamma dan etika kemasyarakatan serta nilai-nilai kemanusiaan. Niscaya mereka akan menjadi bahan pergunjingan dan celaan. Kebahagiaan hidup berumah tangga kiranya juga sukar untuk dapat terwujud secara nyata apabila segalanya tidak berlangsung dengan wajar, umum, dan menurut kebiasaan. Dan 12 terakhir yang mulai dari saparidanta (9) hingga muhuttika (20) adalah wanita yang mempunyai suami tanpa mempersoalkan latar belakang wanita atau motivasi perkawinan mereka. Seseorang orang yang menyetubuhi salah satu dari 20 jenis wanita tersebut di atas berarti telah melakukan hubungan kelamin yang salah dan melanggar sila ketiga.

Perzinahan menimbulkan akibat pada pelakunya adalah sebagai berikut: mempunyai banyak musuh, dibenci orang banyak, sering diancam dan dicelakai, terlahir sebagai banci/waria atau wanita, mempunyai kelainan jiwa, diperkosa orang lain, sering mendapat aib/malu, tidur maupun bangun dalam keadaan gelisah, tidak begitu disenangi laki-laki dan perempuan, gagal dalam bercinta, sukar mendapat jodoh, tidak memperoleh kebahagiaan hidup berumah tangga, terpisah dari orang yang dicintai.

D. Melatih Disiplin Moral (Sila)

Dalam beberapa bagian Saçyutta Nikaya, Sang Buddha bersabda, "Sepertinya berwarna kuning keemasan, duhai Para siswa, adalah pertanda awal terbitnya sang matahari, demikian pula kesempurnaan sila, adalah pertanda awal bagi kemunculan Jalan Mulia Berfaktor Delapan ...Saya tidak melihat satupun hal lain yang menjadi sebab bagi kemunculan Jalan Mulia Delapan yang belun muncul, dan bagi perkembangan jalan mulia berfaktor delapan yang telah muncul, selain kesempumaan sila. ... Bergabung dengan tanah, biji-bijian tumbuh dan berkembang.

Demikian pula kemunculan dan perkembangan jalan mulia berfaktor delapan, bergantung pada kesempumaan sila. Silava Thera juga berujar dalam Theragatha, Khuddaka Nikaya "Sila adalah awal, landasan, sumber kemunculan dari segala macam kebijaksanaan, menjadi pemimpin bagi semua Dhamma, merupakan kekuatan yang tak tertandingi, sebagai senjata yang ampuh, sebagai perhiasan yang mulia, sebagai baju baja pelindung yang sangat menakjubkan, sebagai jembatan penyebrangan yang aman, sebagai penguasa, sebagai wewangian yang harum semarak, sebagai alat pemercantik yang indah, sebagai bekal perjalanan, sebagai wahana yang luhur. Karena itu, seseorang hendaknya membersihkan slla hingga suci. Pengendalian sila adalah pencegah kejahatan, yang membuat batin menjadi ceria, sebagai pelabuhan yang mengalir menuju samodra pembebasan, Nibbana."

Seseorang yang sempuma silanya niscaya bau wanginya menyebar hingga ke segala penjuru sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Dhamapada 55/56, "Tidaklah seberapa harum baunya bunga tagara, kayu cendana, teratai ataupun melati hutan. Namun baunya mereka yang memiliki sila sangatlah harum hingga menyebar sampai ke alam Surga."

Tercantum pula dalam Jataka, Khuddaka Nikaya, suatu pitutuh Bodhisatva yang berbunyi: "Mantra atau aji-aji, kelahiran, dan teman kerabat tidaklah mungkin dapat memberikan kebahagian dialam mendatang (setelah kematian). Tetapi, sila seseorang yang tersucikan dengan baik niscaya akan memberikan kebahagian di alam mendatang."

E. Pahala dan Manfaat Sila

Dalam Dasakanipata, Aégutara Nikaya, Sang Buddha menjabarkan pahala, manfaat dan pelaksanaan sila yaitu: ketidak penyesalan (avippatisara). Ketakpenyesalan mempunyai kenaan (paramodaya) sebagai pahala dan manfaat. Keriaan mempunyai kegiuran (piti), sebagai pahala dan manfaat. Kegiuran mempunyai keheningan (passaddhi) sebagai pahala dan manfaat.

Keheningan mempunyai kebahagiaan (sukha) segaai pahala dan manfaat. Kebahagiaan mempunyai pemusatan (samadhi) sebagai pahala dan manfaat. Pemusatan mempunyai pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya (yathabhuta-nanadassana) sebagai pahala dan manfaat. Pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya mempunyai kejenuhan dan ketanpa-nafsuan (nibbida-viraga) sebagai pahala dan manfaat.

Kejenuhan dan ketanpa-nafsuan mempunyai pengetahuan dan penglihatan atas pembebasan sejati (vimutti-nanadassana) sebagai pahala dan manfaat.

Dalam Mahaparinibbana Sutta, Digha nikaya, Beliau mengungkapkan lima macam manfaat lain dari pelaksanaan sila, yaitu:

1. Memperoleh kekayaan

2. Kemashuran.

3. Tidak gentar atau takut dalam bergaul dengan segala lapisan masyarakat.

4. Dapat mengendalikan batinnya pada saat menjelang kematian.

5. Dan setelah kematian akan terlahir kembali di alam menyenangkan.

Manfaat sila yang lain ialah menjadi kecintaan makhluk lain sebagai awalnya. Ini selaras dengan yang di sabdakan oleh Sang Buddha Gotama dalam Akankheyya Sutta, Majjhima Nikaya, "Duhai para siswa, apabila seseorang siswa berharap semoga saya menjadi kecintaan, kesukaan, kehormatan. keterpujian bagi sahabat-sahabat sepenghidupan suci. Hendaknyalah ia menyempumakan silanya."

Theragatha, Khuddaka Nikaya, Silava Thera mengungkapkan "Orang bijak yang mendambakan tiga macam kebahagiaan, yaitu: Kemasyuran, kekayaan, dan kenikmatan di Alam Surga, hendaknya memelihara sila."

Daftar Pustaka:

Erich Fromm, 1983, Seni Mencinta (terjemahan), Sinar Harapan, Jakarta.

Hurlock, E.B, 1999, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta.

Jan Sanjiwaputta. 1990, Mangala Berkah Utama, Lembaga Pelestari Dhamma, Bangkok.

Lembaga Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha, 1983, Sutta Pitaka Digha Nikaya, Dirjend. Bimas Hindu dan Buddha, Jakarta.

Rita L. Atkinson, Richani C. Atkinson, Ernest R. Hilgairf, 1991, Pengantar Psikologi, Erlangga, Jakarta.

Rudi G., 2000, Mendobrak Tabu Sex Kebudayaan dan Kebejatan Manusia, Galang Press, Yogyakarta.

Sayekti, 1994, Bimbingan dan Konseling Keluarga, Menara Mas Offset, Yogyakarta.

Sugeng H. dkk, 1995, Perkembangan Peserta Didik, IKIP Semarang Press, Semarang.

Teja S.M. R., 1997, Sila dan Vinaya, Penerbit Buddhis Bodhi, Jakarta.

Ven. Visuddhacara, --, Loving and Dying, Malaysian Buddhist Meditation Centre Penang, Malaysia.

Woodward, F.L. (Transl.), 1975, The Minor Antalogies of the Pali Cannon, The Pali Text Society, London.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar